Bergelar Doktor dari Oxford, Tapi Harus Jadi Kurir
Bergelar Doktor dari Oxford, Tapi Harus Jadi Kurir

Bergelar Doktor dari Oxford, Tapi Harus Jadi Kurir

Bergelar Doktor dari Oxford, Tapi Harus Jadi Kurir
Di tengah gencarnya promosi pendidikan tinggi sebagai jalan menuju kesuksesan, muncul sebuah kisah nyata yang mengundang perhatian publik: seorang lulusan Oxford bergelar PhD harus bekerja sebagai kurir untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ironi ini bukan hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga di negara maju, dan mengangkat pertanyaan serius tentang realita pasar kerja global.

Cerita ini bermula ketika sebuah unggahan media sosial memperlihatkan seorang pria dengan seragam kurir sedang mengantarkan paket, lengkap dengan latar belakang akademiknya yang mencengangkan: lulusan Universitas Oxford dengan gelar doktor (PhD) di bidang sains. Unggahan tersebut langsung menyita perhatian netizen, menimbulkan simpati sekaligus keheranan. Bagaimana bisa seseorang dengan latar belakang akademik seimpresif itu harus menjalani pekerjaan yang dianggap “jauh di bawah” kualifikasinya?

Bergelar Doktor dari Oxford, Tapi Harus Jadi Kurir

Oxford adalah salah satu universitas paling bergengsi di dunia. Lulusan universitas ini umumnya diasosiasikan dengan jabatan-jabatan elit, penelitian kelas dunia, atau posisi strategis di pemerintahan dan industri. Apalagi jika menyandang gelar PhD—gelar tertinggi dalam jenjang pendidikan formal. Artinya, individu tersebut telah melalui riset bertahun-tahun dan memiliki keahlian spesifik di bidangnya.

Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh kisah ini, gelar tinggi tidak otomatis menjamin karier yang mulus.

Persaingan Ketat di Dunia Kerja

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia kerja mengalami perubahan drastis. Pandemi COVID-19, disrupsi teknologi, dan ketidakpastian ekonomi menyebabkan banyak sektor mengalami penyusutan. Bahkan di negara maju, gelar tinggi tidak menjamin seseorang lolos dari persaingan kerja yang semakin ketat.

Posisi di dunia akademik semakin terbatas, sementara lapangan kerja di sektor swasta lebih mengutamakan pengalaman, soft skill, dan jaringan profesional ketimbang sekadar ijazah. Akibatnya, banyak lulusan pascasarjana yang kesulitan mendapat pekerjaan sesuai dengan bidang mereka.

Menghapus Stigma Terhadap Pekerjaan Tertentu

Salah satu hal positif yang bisa dipetik dari kisah ini adalah pentingnya menghapus stigma terhadap pekerjaan tertentu. Meski bekerja sebagai kurir dianggap tidak “sekelas” dengan gelar doktor, pekerjaan tersebut tetaplah layak dan bermartabat. Tidak ada pekerjaan yang rendah selama dilakukan dengan jujur dan bertanggung jawab.

Bahkan, pria dalam kisah ini menunjukkan sikap yang patut diapresiasi—ia tidak gengsi bekerja apapun demi bertahan hidup. Ia lebih memilih bekerja sebagai kurir daripada menganggur, menunjukkan etos kerja yang tinggi dan sikap realistis dalam menghadapi situasi sulit.

Pelajaran Bagi Dunia Pendidikan dan Pemerintah

Kasus seperti ini seharusnya menjadi refleksi bagi institusi pendidikan dan pemerintah. Pendidikan tinggi harus dibarengi dengan pengembangan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri saat ini. Selain itu, pemerintah perlu menciptakan lebih banyak lapangan kerja berkualitas, khususnya bagi lulusan perguruan tinggi yang telah menginvestasikan waktu dan biaya besar untuk menempuh pendidikan tinggi.

Makna Sukses yang Perlu Didefinisikan Ulang

Kisah ini juga mengajak kita mendefinisikan ulang arti “sukses.” Apakah sukses itu berarti bekerja di kantor megah dengan gaji besar? Ataukah sukses adalah ketika seseorang bisa mandiri, jujur, dan menjalani hidup dengan integritas, tak peduli profesi apa yang ia jalani?

Banyak orang mengejar gelar dan status sosial demi pengakuan, namun lupa bahwa setiap individu memiliki jalan hidup yang berbeda. Tak ada yang salah dengan menjadi kurir, sopir, atau tukang bersih-bersih, selama dilakukan dengan niat baik dan usaha keras.

Kesimpulan

Bergelar doktor dari Oxford namun menjadi kurir bukanlah aib. Ini adalah gambaran nyata tentang kompleksitas dunia kerja hari ini. Pendidikan tinggi memang penting, tapi tidak selalu menjadi satu-satunya jalan menuju keberhasilan finansial atau sosial. Yang terpenting adalah kemampuan untuk beradaptasi, tidak gengsi bekerja, dan tetap memiliki semangat hidup yang tinggi di tengah tantangan zaman.

Baca juga: Jelang Merger Adira Finance (ADMF) dan Mandala Finance (MFIN) Tawarkan Buyback Saham

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *