Anggota Komisi V DPR Soroti Tiket Mahal dan Keterlambatan Penerbangan di Musim Lebaran
Ekonomi Anggota Komisi V DPR Soroti Tiket Mahal dan Keterlambatan Penerbangan di Musim LebaranAnggota Komisi V DPR Soroti Tiket Mahal dan Keterlambatan Penerbangan di Musim Lebaran
Mudik Lebaran yang seharusnya menjadi momen membahagiakan bagi masyarakat, kembali diwarnai keluhan. Tahun 2025 ini, harga tiket pesawat melambung tinggi, bahkan di luar jangkauan sebagian masyarakat. Selain itu, keterlambatan (delay) penerbangan di berbagai bandara menambah kepanikan dan ketidaknyamanan para penumpang.
Fenomena ini kemudian mendapat perhatian dari kalangan legislatif, khususnya Komisi V DPR RI yang membidangi transportasi. Beberapa anggotanya mengeluarkan pernyataan keras dan meminta evaluasi menyeluruh terhadap kinerja maskapai penerbangan dan pengawasan pemerintah, terutama Kementerian Perhubungan dan operator bandara.

Komisi V: Tiket Terlalu Mahal, Rakyat Terbebani
Anggota Komisi V DPR, Sigit Sumarsono, menyampaikan keprihatinannya terhadap tingginya harga tiket pesawat, khususnya pada rute-rute ke luar Jawa dan daerah tujuan mudik favorit seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Menurutnya, harga tiket rute Jakarta-Medan, Jakarta-Makassar, dan Jakarta-Padang selama Lebaran melampaui angka Rp 3 juta hingga Rp 4 juta sekali jalan, jauh di atas harga normal.
“Pemerintah harus hadir dalam kondisi seperti ini. Harga tiket pesawat melonjak dan sangat membebani masyarakat. Ini bukan sekadar isu komersial, tapi sudah menyangkut kepentingan publik,” ujar Sigit dalam rapat kerja Komisi V.
Ia juga menyoroti kurangnya keterlibatan regulator dalam mengatur tarif batas atas dan bawah, yang membuat maskapai leluasa memainkan harga saat permintaan tinggi.
Keterlambatan Penerbangan Meluas di Bandara Besar
Selain tiket mahal, keterlambatan penerbangan (delay) juga menjadi sorotan tajam. Data dari Angkasa Pura II menyebutkan bahwa selama seminggu menjelang Lebaran, lebih dari 300 jadwal penerbangan mengalami keterlambatan lebih dari 1 jam. Penyebabnya bervariasi, mulai dari kepadatan slot penerbangan, cuaca buruk, hingga masalah teknis di maskapai.
Bandara-bandara besar seperti Soekarno-Hatta (CGK), Juanda (SUB), dan Kualanamu (KNO) tercatat sebagai lokasi dengan tingkat delay tertinggi. Penumpukan penumpang di area boarding serta kurangnya informasi akurat menambah frustrasi pengguna jasa penerbangan.
DPR Minta Evaluasi Menyeluruh Maskapai dan Operator
Komisi V meminta Kementerian Perhubungan dan Otoritas Bandara untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggara penerbangan nasional, termasuk maskapai swasta dan BUMN seperti Garuda Indonesia dan Citilink.
Evaluasi yang diminta meliputi:
-
Kepatuhan terhadap jadwal penerbangan yang diumumkan
-
Transparansi harga tiket di platform penjualan online
-
Kualitas layanan konsumen saat terjadi keterlambatan
-
Kesiapan manajemen operasional bandara saat lonjakan penumpang
Anggota DPR juga mendesak agar sanksi administratif benar-benar diterapkan kepada maskapai yang terbukti mengabaikan hak-hak penumpang, terutama pada penerbangan dengan delay lebih dari 2 jam tanpa kompensasi.
Hak Penumpang dan Ketentuan Ganti Rugi Delay
Sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 Tahun 2015, penumpang berhak atas kompensasi dan pelayanan saat penerbangan tertunda, seperti:
-
Delay 1–2 jam: snack ringan dan minuman
-
Delay 2–4 jam: makanan berat
-
Delay lebih dari 4 jam: pengembalian tiket (refund) atau pengalihan penerbangan (reschedule)
Namun dalam kenyataannya, banyak maskapai tidak memberikan informasi atau fasilitas tersebut secara layak. Komisi V menegaskan bahwa perlindungan konsumen harus ditegakkan agar masyarakat tidak merasa ditelantarkan.
Baca juga:Prabowo Tunggu Laporan Airlangga Soal Negosiasi Tarif Trump
Peran Pemerintah: Jangan Sekadar Imbauan
Komisi V menilai peran pemerintah masih minim dan cenderung normatif. Padahal dalam masa mudik, negara harus lebih proaktif menjaga keseimbangan antara kepentingan bisnis dan hak masyarakat.
Anggota DPR, Fitriani Rizki, menegaskan bahwa jika pemerintah tidak bertindak tegas, ketimpangan akses transportasi akan terus terjadi, dan hanya masyarakat kelas atas yang bisa menikmati layanan udara saat libur nasional.
“Jangan biarkan mudik menjadi momok bagi rakyat kecil. Mereka punya hak untuk pulang kampung dengan harga wajar dan layanan layak,” ujarnya.
Solusi Jangka Pendek dan Panjang
Sebagai langkah konkret, Komisi V mengusulkan beberapa hal:
-
Menaikkan frekuensi penerbangan tambahan (extra flight) untuk menekan lonjakan harga
-
Transparansi harga tiket di semua platform OTA (Online Travel Agent)
-
Sosialisasi hak penumpang secara luas melalui media dan bandara
-
Peningkatan koordinasi antar maskapai dan otoritas bandara
Untuk jangka panjang, Komisi V juga mendorong pemerintah untuk membuka jalur-jalur penerbangan alternatif dan meningkatkan konektivitas antarwilayah menggunakan moda transportasi lain seperti kereta api dan pelabuhan laut, agar masyarakat tidak tergantung sepenuhnya pada penerbangan saat musim mudik.
Tanggapan Maskapai dan Operator Bandara
Beberapa maskapai penerbangan menyatakan bahwa kenaikan harga tiket di musim puncak adalah hal wajar akibat mekanisme permintaan dan penawaran (supply-demand). Namun mereka mengklaim telah memberikan layanan terbaik dalam kondisi keterbatasan armada dan slot penerbangan.
PT Angkasa Pura II sebagai pengelola beberapa bandara utama juga menyatakan tengah melakukan evaluasi sistem pengaturan slot dan pelayanan darat, terutama untuk meminimalkan delay akibat antrean pesawat saat take-off dan landing.
Penutup: Perlu Reformasi Sistem Transportasi Udara
Masalah kenaikan harga tiket dan delay bukan hanya soal teknis atau bisnis semata, tetapi menyangkut akses keadilan sosial dan pelayanan publik. Mudik Lebaran adalah hak jutaan warga negara, dan harus didukung oleh sistem transportasi yang adil, transparan, dan manusiawi.
Sorotan Komisi V DPR RI harus menjadi alarm bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk lebih serius dalam membenahi tata kelola industri penerbangan nasional. Jika tidak, kepercayaan masyarakat terhadap layanan publik—khususnya penerbangan—akan terus tergerus.