Beras Oplosan Marak Beredar di Pasar, HET dan Lemahnya Pengawasan Jadi Biang Kerok?
EkonomiBeras Oplosan Marak Beredar di Pasar, HET dan Lemahnya Pengawasan Jadi Biang Kerok?
Peredaran beras oplosan kembali mencuat di berbagai pasar tradisional Indonesia. Fenomena ini menjadi perhatian publik setelah sejumlah temuan beras oplosan muncul dalam operasi pengawasan pangan yang dilakukan oleh dinas terkait. Praktik curang ini tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga mengganggu stabilitas harga dan kepercayaan pasar. Banyak pihak menilai bahwa Harga Eceran Tertinggi (HET) yang tidak realistis dan pengawasan yang lemah menjadi penyebab utamanya.
Beras Oplosan Marak Beredar di Pasar, HET dan Lemahnya Pengawasan Jadi Biang Kerok?
Beras oplosan adalah beras hasil campuran dari beberapa jenis atau kualitas beras yang dijual sebagai produk premium. Dalam banyak kasus, pelaku mencampurkan beras medium dengan beras kualitas rendah, lalu dikemas dan dijual dengan label beras premium. Bahkan, ada yang mencampur beras impor dengan beras lokal untuk mendapatkan margin keuntungan lebih tinggi.
Seiring berkembangnya teknologi pengemasan, banyak konsumen kesulitan membedakan beras asli dan oplosan. Ini membuat mereka rentan tertipu, apalagi jika membeli dalam kemasan ritel yang tidak menyertakan informasi yang transparan soal asal dan mutu beras.
HET Dinilai Tak Sesuai dengan Biaya Produksi
Salah satu pemicu utama maraknya praktik oplosan adalah Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Meski bertujuan menjaga keterjangkauan bagi masyarakat, HET kerap dianggap tidak sesuai dengan realitas biaya produksi, distribusi, dan kondisi pasar.
Akibatnya, banyak pedagang mencari cara agar tetap bisa mendapatkan keuntungan di tengah tekanan harga. Salah satu jalan pintas yang diambil adalah melakukan pencampuran jenis beras untuk menekan biaya modal. Dalam jangka panjang, praktik ini merusak ekosistem perdagangan beras yang sehat.
Pengawasan di Lapangan Masih Lemah
Faktor lain yang memperparah situasi adalah lemahnya pengawasan dari otoritas terkait. Banyak pasar tradisional yang luput dari pemeriksaan rutin. Selain itu, keterbatasan personel dan alat uji cepat membuat dinas ketahanan pangan dan perdagangan daerah sulit mengidentifikasi peredaran beras oplosan secara menyeluruh.
Di sisi lain, pelaku oplosan juga semakin cerdas dalam memanipulasi tampilan dan tekstur beras, sehingga lolos dari pemeriksaan kasat mata. Hal ini membuat tindakan penertiban menjadi reaktif, hanya dilakukan setelah ada laporan dari masyarakat.
Kerugian Bagi Konsumen dan Petani
Konsumen tentu menjadi pihak paling dirugikan. Selain membayar harga tinggi untuk kualitas rendah, mereka juga berisiko mengonsumsi beras yang tidak layak atau tidak memenuhi standar gizi. Tak jarang beras oplosan menggunakan beras lama yang sudah disimpan terlalu lama di gudang.
Petani pun terkena dampaknya. Ketika pasar dibanjiri beras oplosan yang murah dan tidak mencerminkan nilai sebenarnya, harga gabah petani bisa ditekan. Ini tentu memengaruhi kesejahteraan petani dan semangat untuk terus memproduksi beras secara berkelanjutan.
Upaya Penanggulangan dari Pemerintah
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Badan Pangan Nasional sudah mulai mengambil langkah serius. Beberapa kebijakan yang sedang dipertimbangkan antara lain revisi HET agar lebih realistis dan peningkatan kapasitas pengawasan dengan melibatkan lebih banyak pihak, termasuk kepolisian dan satgas pangan.
Selain itu, edukasi kepada konsumen juga ditingkatkan agar mereka lebih jeli saat membeli beras. Kampanye untuk membeli beras langsung dari koperasi petani atau outlet resmi juga sedang digalakkan sebagai langkah alternatif.
Pentingnya Ketelusuran Produk dan Labelisasi
Salah satu solusi jangka panjang yang diusulkan adalah penerapan sistem ketelusuran produk (traceability). Dengan sistem ini, setiap kemasan beras harus memiliki label yang bisa dilacak asal-usulnya, mulai dari petani hingga ke tangan konsumen. Teknologi QR code dan digitalisasi rantai pasok menjadi opsi untuk mencegah kecurangan.
Jika sistem ini diterapkan secara masif, pelaku oplosan akan kesulitan menyamarkan produknya dan masyarakat bisa lebih percaya terhadap kualitas beras yang mereka konsumsi.
Penutup: Perlu Kolaborasi Semua Pihak
Maraknya beras oplosan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu kebijakan. Diperlukan kerja sama antara pemerintah, pelaku usaha, petani, dan masyarakat untuk menciptakan sistem distribusi beras yang adil dan transparan. Penegakan hukum yang tegas juga harus menjadi prioritas agar pelaku usaha nakal tidak merasa aman dari jerat hukum.
Baca juga: Prabowo Sebut Kesepakatan Dagang dengan Uni Eropa Jadi Terobosan Usai 10 Tahun Negosiasi