Harga Beras di Jepang Melonjak, Pemerintah Turunkan Harga Jadi Rp 227.000 per 5 Kg
Ekonomi Harga Beras di Jepang Melonjak, Pemerintah Turunkan Harga Jadi Rp 227.000 per 5 KgHarga Beras di Jepang Melonjak, Pemerintah Turunkan Harga Jadi Rp 227.000 per 5 Kg
Meski Jepang adalah produsen beras lokal yang terkenal dengan kualitas tinggi, negara ini tetap melakukan impor
dalam jumlah terbatas sebagai bagian dari perjanjian dagang internasional. Ketika harga beras dunia juga mengalami kenaikan
dipicu oleh kebijakan ekspor India yang membatasi suplai global — maka tekanan harga domestik semakin besar.
Faktor kurs yen terhadap dolar AS yang melemah sepanjang 2024–2025 turut memperparah situasi.
Biaya impor meningkat, dan produsen dalam negeri mulai menaikkan harga untuk menyesuaikan margin keuntungan, menciptakan efek domino ke tingkat konsumen.

Pemerintah Turun Tangan: Subsidi dan Penyesuaian Harga
Menghadapi kondisi ini, pemerintah Jepang melalui Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (MAFF) mengumumkan kebijakan stabilisasi harga beras.
Dalam kebijakan tersebut, pemerintah akan memberikan subsidi langsung kepada distributor dan pengecer, agar harga jual beras dapat ditekan hingga berada di kisaran ¥2.100–¥2.200 per 5 kilogram, atau sekitar Rp 227.000.
Langkah ini diambil agar masyarakat tetap dapat mengakses kebutuhan pokok tanpa beban tambahan yang besar.
Program ini juga melibatkan koperasi pertanian (JA Group) untuk menyalurkan stok beras dari gudang cadangan nasional
sehingga pasokan tidak terganggu selama masa transisi harga.
Dampak ke Konsumen dan Respons Publik
Bagi konsumen, kebijakan ini disambut positif. Banyak keluarga di kota besar seperti Tokyo, Osaka, dan Fukuoka
sebelumnya mulai beralih ke jenis beras kualitas rendah atau beras impor murah karena tidak mampu membeli beras premium Jepang.
Penyesuaian harga ini diharapkan bisa mengembalikan pola konsumsi normal dan menghindari praktik penimbunan.
Beberapa survei menunjukkan bahwa 7 dari 10 rumah tangga merasa lega dengan adanya intervensi pemerintah ini.
Namun, sebagian kalangan akademisi dan pengamat ekonomi mengingatkan bahwa kebijakan harga bersubsidi ini hanya bisa bersifat sementara, dan Jepang tetap harus memperkuat ketahanan pangan dalam jangka panjang.
Tanggapan dari Sektor Pertanian
Dari sisi produsen, terutama petani lokal, respons terhadap kebijakan penurunan harga beragam.
Sebagian menyatakan dukungan, asalkan subsidi juga menjamin margin keuntungan mereka tidak berkurang. Namun, ada pula kekhawatiran bahwa kontrol harga yang terlalu ketat bisa merugikan sektor pertanian dalam jangka panjang.
Pemerintah menjawab kekhawatiran ini dengan menjanjikan insentif tambahan untuk petani, termasuk subsidi pupuk organik
pelatihan digital pertanian, dan bantuan distribusi ke kota-kota kecil.
Tujuannya adalah memastikan petani tetap memiliki motivasi untuk menanam padi berkualitas, sambil beradaptasi dengan iklim pasar yang terus berubah.
Baca juga:
Kesimpulan: Jalan Tengah di Tengah Krisis
Lonjakan harga beras di Jepang menjadi tantangan serius di tengah upaya pemerintah menjaga stabilitas ekonomi dan sosial.
Melalui penurunan harga menjadi Rp 227.000 per 5 kg, Jepang mencoba memberikan solusi jangka pendek yang efektif untuk meredam dampak langsung ke masyarakat.
Namun, solusi jangka panjang tetap diperlukan, termasuk investasi dalam teknologi pertanian, pembukaan lahan baru
dan reformasi sistem distribusi pangan. Di tengah tantangan global, Jepang harus terus mencari keseimbangan antara ketahanan
pangan, kesejahteraan petani, dan daya beli masyarakat.
Kebijakan ini menjadi cerminan bagaimana sebuah negara maju sekalipun harus terus adaptif dalam mengelola krisis
pangan, agar seluruh lapisan masyarakat tetap bisa hidup layak dan terjamin kebutuhan dasarnya.