Jadi Sorotan Negosiasi Tarif, Bagaimana Kiprah Perusahaan Pembayaran AS di RI?
Keuangan Bagaimana Kiprah Perusahaan Pembayaran AS di RI?, Jadi Sorotan Negosiasi TarifJadi Sorotan Negosiasi Tarif, Bagaimana Kiprah Perusahaan Pembayaran AS di RI?
Dalam dinamika hubungan ekonomi Indonesia dan Amerika Serikat, sektor jasa keuangan digital kini menjadi salah satu sorotan utama.
Salah satu aspek yang tengah hangat dibicarakan adalah kiprah perusahaan pembayaran asal Amerika Serikat di Indonesia, terutama dalam konteks negosiasi tarif dan kesetaraan perlakuan terhadap pelaku industri lokal dan asing.
Perusahaan-perusahaan besar seperti Visa, Mastercard, dan PayPal telah lama hadir di Indonesia dan memainkan peran penting dalam sistem pembayaran domestik.
Namun, seiring dengan berkembangnya industri teknologi finansial (fintech) lokal dan regulasi yang semakin ketat, kehadiran mereka kini kembali dipertanyakan dalam kerangka negosiasi dagang antara dua negara.
Jadi Sorotan Negosiasi Tarif, Bagaimana Kiprah Perusahaan Pembayaran AS di RI?
Dalam beberapa waktu terakhir, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian tengah menjalin pembahasan lanjutan dengan Pemerintah Amerika Serikat terkait penyesuaian kebijakan tarif dan non-tarif, yang mencakup sektor jasa termasuk layanan sistem pembayaran.
Amerika Serikat melalui USTR (United States Trade Representative) sebelumnya sempat mengkritik sejumlah regulasi
Indonesia yang dinilai membatasi akses perusahaan pembayaran asing dalam ekosistem sistem pembayaran domestik
seperti kewajiban pemrosesan transaksi di dalam negeri dan kerja sama dengan penyelenggara jasa sistem pembayaran lokal.
Indonesia di sisi lain, menegaskan bahwa kebijakan tersebut dirancang untuk mendukung
kedaulatan data, keamanan nasional, dan penguatan industri lokal dalam ekosistem ekonomi digital yang terus berkembang pesat.
Kiprah Visa dan Mastercard di Indonesia
Sebagai dua raksasa global di bidang kartu kredit dan pembayaran elektronik, Visa dan Mastercard memiliki basis pengguna yang besar di Indonesia.
Keduanya bekerja sama dengan bank-bank nasional dalam menyediakan layanan transaksi pembayaran domestik dan internasional, baik melalui kartu debit, kartu kredit, maupun dompet digital.
Kehadiran Visa dan Mastercard telah memberikan kemudahan bagi jutaan konsumen Indonesia dalam melakukan transaksi non-tunai, terutama di sektor e-commerce dan pariwisata.
Namun demikian, dominasi mereka juga menimbulkan kekhawatiran mengenai
arus data transaksi yang diproses di luar negeri dan ketergantungan sistem pembayaran terhadap entitas asing.
Bank Indonesia (BI) pun mengeluarkan kebijakan untuk membangun sistem pembayaran nasional yang lebih independen
salah satunya melalui pengembangan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang diluncurkan pada 2017
GPN mewajibkan pemrosesan transaksi domestik dilakukan di dalam negeri dan menggunakan logo bersama nasional.
Peran PayPal dan Layanan Digital AS Lainnya
Selain Visa dan Mastercard, PayPal juga menjadi perusahaan asal AS yang mendapat perhatian di Indonesia. Sebagai penyedia layanan pembayaran digital lintas negara, PayPal banyak digunakan oleh pekerja lepas (freelancer), pelaku bisnis e-commerce, dan pengguna digital lainnya untuk menerima dan mengirim dana dari luar negeri.
Namun, pada pertengahan 2022 lalu, PayPal sempat terkena kebijakan pemblokiran sementara oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika
karena belum memenuhi kewajiban pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). Meskipun layanan
tersebut segera diaktifkan kembali, kejadian itu menjadi contoh bagaimana perusahaan asing harus mengikuti regulasi lokal dengan ketat jika ingin terus beroperasi di Indonesia.
Kehadiran PayPal memang memperkuat inklusi keuangan digital di Indonesia, namun pada saat yang sama, pemerintah juga mendorong
lahirnya alternatif lokal yang mampu menggantikan atau mengimbangi layanan internasional, seperti DANA, LinkAja, OVO, dan ShopeePay.
Regulasi Sistem Pembayaran dan Tantangan untuk Asing
Regulasi terbaru dari Bank Indonesia seperti Peraturan BI No. 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan asing.
Peraturan ini mengatur struktur penyelenggaraan sistem pembayaran
berbasis model kerja sama, serta penetapan porsi kepemilikan asing maksimum di dalam penyelenggara sistem pembayaran, yaitu sebesar 49 persen.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberi ruang bagi perusahaan domestik agar bisa berkembang dan tidak terus berada dalam bayang-bayang dominasi perusahaan global.
Namun, bagi negara mitra seperti Amerika Serikat, hal ini dianggap sebagai hambatan non-tarif yang dapat merugikan pelaku usahanya.
Dalam laporan USTR 2023, disebutkan bahwa pembatasan kepemilikan dan lokasi server lokal berpotensi membatasi inovasi dan investasi asing di sektor ekonomi digital Indonesia.
Pemerintah Indonesia menanggapi hal tersebut dengan menyatakan bahwa regulasi itu sejalan dengan semangat menjaga kedaulatan digital nasional.
Ketegangan Potensial dan Upaya Penyelesaian
Perbedaan pandangan antara Indonesia dan AS mengenai regulasi sistem pembayaran memang berpotensi menimbulkan ketegangan dalam negosiasi dagang.
Namun, kedua negara menyadari pentingnya mempertahankan hubungan ekonomi yang saling menguntungkan.
Baca juga:OJK Dorong Koin P2P dan Crowde Lakukan Berbagai Upaya untuk Menyelesaikan Masalah
Kementerian Perdagangan Indonesia menegaskan bahwa pihaknya terbuka terhadap dialog terbuka dan transparan untuk mencari titik temu
selama tidak mengorbankan prinsip kedaulatan digital dan perlindungan terhadap data konsumen.
Sementara itu, pelaku usaha di Indonesia mengharapkan agar regulasi tetap adil, namun tidak mematikan iklim kompetisi yang sehat.
Sejumlah bank nasional dan fintech lokal menyatakan bahwa kerja sama dengan perusahaan asing seperti
Visa, Mastercard, dan PayPal tetap diperlukan, tetapi dengan ketentuan yang seimbang dan tidak merugikan kepentingan nasional.
Masa Depan Sistem Pembayaran: Kolaborasi atau Kompetisi?
Dengan terus berkembangnya teknologi pembayaran, masa depan industri ini di Indonesia akan ditentukan oleh sejauh mana
perusahaan asing dan lokal bisa bekerja sama dalam kerangka yang diatur secara adil.
Beberapa analis menilai bahwa kolaborasi menjadi jalan terbaik. Misalnya, perusahaan global seperti Visa dan Mastercard bisa
tetap hadir dengan menjalin kemitraan strategis dengan bank nasional atau penyedia jasa lokal, serta mematuhi standar sistem pembayaran nasional yang telah ditetapkan.
Sementara itu, pemerintah juga diminta untuk tidak menutup diri terhadap investasi asing, mengingat teknologi dan pengalaman
perusahaan global bisa menjadi nilai tambah dalam meningkatkan efisiensi dan jangkauan layanan keuangan di Tanah Air.
Penutup
Kiprah perusahaan pembayaran asal Amerika Serikat di Indonesia tidak dapat dipungkiri telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan sistem transaksi digital di negara ini.
Namun, seiring dengan meningkatnya kesadaran terhadap kedaulatan digital dan perlindungan konsumen, regulasi yang lebih ketat juga menjadi keniscayaan.
Dalam konteks negosiasi tarif dan kerja sama ekonomi antara Indonesia dan AS, sektor sistem pembayaran menjadi topik penting yang memerlukan pendekatan cermat.
Diperlukan komunikasi yang terbuka dan solusi win-win agar kepentingan nasional tetap terjaga, tanpa menutup ruang untuk kolaborasi internasional yang sehat.
Ke depan, harmonisasi antara regulasi lokal dan kepentingan investor global akan menjadi kunci dalam menciptakan ekosistem pembayaran yang aman, inklusif, dan berdaya saing tinggi.